Oleh : Muhammad Lili Nur Aulia – Sekretaris Lembaga Kajian dan Pemikiran Islam (LKPII)
Dalam undang-undang yang mengatur peperangan dunia (hukum humaniter internasional), ada peristilahan yang dikenal ungkapan collateral damage atau dampak ikutan dari suatu serangan yang tak diharapkan dan bukan bagian dari target utama, sebagai kondisi akibat perang yang mengakibatkan korban sampingan demi mencapai suatu target yang lebih besar. Istilah ini pertama kali digunakan sebagai euphemisme atau ungkapan pelembut para politisi dan jenderal Amerika Serikat di dalam Perang Vietnam antara tahun 1960-1970an, ketika mereka membantai anak-anak dan wanita Vietnam. Korban bom nuklir Hiroshima-Nagasaki pada Agustus 1945, yang memakan korban hampir mencapai 250.000 jiwa yang dilakukan AS untuk menghentikan agresi Jepang di berbagai negara pada masa Perang Dunia II, juga bisa disebut sebagai collateral damage.
Collateral damage atau kerusakan tambahan, terjadi ketika serangan yang ditujukan pada sasaran militer menyebabkan terbunuhnya rakyat sipil dan merusak obyek-obyek sipil. Masalah ini sudah diantisipasi dan menjadi peraturan dalam konflik bersenjata untuk membatasi serangan secara sembarangan. Dalam konvensi Jenewa tahun 1977, Pasal 57 Protokol Tambahan I menyebutkan bahwa, dalam sebuah konflik internasional, “perhatian harus selalu diberikan untuk melindungi populasi sipil, orang-orang sipil, dan obyek-obyek sipil.” Sebagai tambahan, pada Pasal 51, “Pemboman area (carpet bombing) dilarang, begitu juga serangan yang menggunakan cara dan alat pertempuran yang efeknya tidak dapat dikontrol.”
Inilah yang kita saksikan digunakan oleh para pejabat AS dan Israel. Mereka berulangkali menyatakan berbagai ungkapan untuk menggiring opini dunia bahwa apa yang dilakukan adalah dalam konteks collateral damage. Bagaimana mereka terkadang memuji tentara Israel sebagai salah satu tentara paling profesional di dunia, dan di waktu yang sama mengatakan bahwa Hamas sengaja membunuh warga sipil dengan menjadikan mereka sebagai tameng manusia.
Jadi pembantaian yang dilakukan pasukan Israel dirubah dengan alasan hal itu sebagai respon dari pembunuhan yang dilakukan pejuang Palestina. Artinya juga, pembantaian itu dilakukan secara tidak sengaja karena tujuan utamanya adalah menghabisi pejuang Palestina. Lebih lanjut dengan kuat, AS menyematkan tuduhan terorisme pada pejuang Palestina dan meminta pertanggungjawaban Hamas sebagai organisasi terdepan dalam perjuangan kemerdekaan Palestina, atas terbunuhnya warga sipil yang terbunuh oleh senjata Amerika dan Israel. AS juga kerap “mendesak” Israel dengan menggunakan kalimat “meminimalkan korban sipil.” Tapi kenyataannya, membenarkan pembantaian yang telah terjadi di Gaza selama dua bulan, dengan dukungan bom, pesawat tempur dan persenjataan berat.
Klaim karakter paling bermoral juga diungkapkan secara eksplisit oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dengan mengatakan bahwa tentara Israel adalah tentara paling professional dan bermoral di dunia, dan yang terjadi di Gaza adalah collatoral damage. Sedangkan di waktu yang sama mereka terus menerus melakukan pembantaian sipil setiap hari di Gaza, hingga jumlah syahid telah mendekati 40 ribu orang , ditambah puluhan ribu yang terluka, dan kehancuran menyeluruh akibat pemboman Israel yang tak kenal henti.
Apa yang diinginkan para musuh kemanusiaan itu sebenarnya? Setidaknya mereka ingin mencapai tiga tujuan. Pertama: Menghindari tanggung jawab moral dan hukum atas akibat tindakan militer kejam yang terjadi di Gaza dan . Kedua: Menutupi kegagalan komando militer yang tidak berhasil mencari anasir perlawanan Palestina dan gagal menghindari jatuhnya korban yang begitu banyak di kalangan sipil. Ketiga: Menjamin agar aksi militer yang dilakukan bisa tetap berlanjut agar tujuan tercapai tanpa pembatasan sanksi tertentu yang mengakibatkan serangan ditekan atau dihentikan.
Yang dilakukan AS dan Israel itu jelas tidak bisa dibenarkan. Sebab jatuhnya korban sipil selama apa yang disebut “konflik bersenjata” meski bukan kejahatan perang tapi hukum humaniter internasional yang termaktub pada konvensi Jenewa 1949, hanya mengizinkan pihak-pihak yang bertikai untuk melakukan “serangan proporsional” terhadap sasaran militer ; meskipun diketahui sebelumnya bahwa hal itu akan menimbulkan korban sipil. Jelas apa yang terjadi saat ini di Gaza dan sudah keluar dari unsur proporsional.
Jika alasan collateral damage atau kerusakan yang tak terhindarkan itu diterima, maka dalam konteks korban di Gaza dan , akan bermakna dehumanisasi terhadap korban, atau menjadikan manusia hanya sekedar objek atau alat untuk mencapai tujuan militer dan politik. Kerusakan tambahan, menurut definisinya, adalah dampak yang menimpa individu, harta benda, atau fasilitas, dan merupakan isu sekunder dalam keputusan perang dan tindakan militer. Sedangkan yang terjadi, jelas justru bukan isu sekunder melainkan menjadi persoalan sentral yang dilakukan secara sengaja dan membabi buta. Lalu, Amerika cukup puas dengan menyatakan kesedihan atas jatuhnya korban jiwa di Gaza, sambil terus mendukung perang dan mengirimkan senjata yang membunuh warga sipil tersebut.
Penggunaan istilah collateral damage untuk perang Gaza menyesatkan. Sebab yang terjadi jelas aspek kesengajaan yang ingin dicapai dalam perang yang sedang berlangsung di Gaza. Mengingat sifat senjata yang digunakan, yang dampaknya diketahui secara pasti oleh produsen, pemasok dan pengguna senjata, dalam hal jangkauan dan potensi destruktifnya, pasti sudah bisa diprediksi. Juga mengingat sifat medan perang di Gaza yang kepadatan penduduknya termasuk tertinggi di dunia, dan penargetan fasilitas perumahan dan kesehatan diketahui – dengan pasti – akan menimbulkan korban jiwa tanpa mencapai tujuan militer yang sepadan dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Hukum humaniter internasional harus diterapkan secara ketat dalam perang yang sedang berlangsung di Gaza karena aspek senjata, wilayah dan sasaran, serta dampak sebenarnya, yaitu terbunuhnya sekitar dua puluh ribu orang, yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. Penyangkalan dunia terhadap genosida atas Gaza yang dilakukan secara sengaja, akan menjadi preseden kemanusiaan luar biasa di masa depan. Dan bukan mustahil, jika pun ternyata AS dan Israel berhasil “mengalahkan” Hamas di Gaza, akan terbuka medan pertikaian yang lebih luas dan sulit terkontrol, mencakup dalam negeri Israel sendiri, negara-negara tetangga Palestina bahkan bisa sangat mengganggu stabilitas politik dan dunia.