Sebaiknya Tak Mengevakuasi Warga Gaza, apalagi Merelokasi ke Indonesia

Penulis : Heru Susetyo – Guru Besar Universitas Indonesia

Guru Besar/Professor Fakultas Hukum Universitas Indonesia Bidang Studi Hukum Masyarakat & Pembangunan/ Pengajar Tidak Tetap Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI/ Sekjen Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia/ Pendiri Masyarakat Viktimologi Indonesia/ Executive Committee World Society of Victimology -WSV/ Co-Founder Victims Support Asia/ Anggota Dewan Riset Daerah DKI Jaya 2018 – 2022/Executive Director of MINDA

NIAT baik pemerintah RI untuk mengevakuasi warga Gaza, Palestina, yang terluka dalam perang sejak Oktober 2023, terutama anak-anak, patut diacungi jempol. Ini menunjukkan komitmen pemerintah RI dalam urusan kemanusiaan dan perdamaian internasional.

Sesuatu yang amat cocok dengan amanat alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945 untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.

Presiden Prabowo Subianto menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengevakuasi warga Gaza yang menjadi korban luka akibat serangan di wilayah tersebut. Korban akan dibawa ke Indonesia guna mendapatkan perawatan medis, termasuk anak-anak yatim piatu dan warga yang mengalami trauma berat

Pernyataan ini disampaikan Presiden Prabowo di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada Rabu (Kompas, 9/4/2025).

Selanjutnya, presiden menjelaskan bahwa evakuasi akan berfokus kepada warga Gaza yang mengalami luka serius serta kelompok rentan lainnya.

Mereka yang diperkirakan jumlahnya 1.000 orang dalam gelombang pertama, akan diterbangkan ke Indonesia untuk mendapatkan pengobatan dan pemulihan sementara. Pemerintah akan mengirim pesawat-pesawat untuk angkut mereka.

Prabowo menegaskan bahwa evakuasi ini bersifat sementara. Setelah kondisi warga membaik dan situasi di Gaza memungkinkan, mereka diharapkan kembali ke tempat asalnya.

Namun demikian, niat dan tujuan yang baik saja tidak cukup dalam perkara ini. Apabila korban perangnya bukan dalam konflik Israel-Palestina, tapi dalam perang lain di negara lain, mungkin solusi evakuasi ini amat menarik.

Dalam konteks Israel Vs Palestina situasinya jadi lebih kompleks. Evakuasi ke negara lain seperti Indonesia menjadi pilihan yang tidak popular ataupun kurang tepat.

Agung Nurwijoyo, pengajar Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia berpendapat bahwa ide untuk mengangkut pengungsi ke Indonesia perlu dipikir ulang.

Sebab, rencana ini seolah menyambut ide Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait relokasi warga Gaza, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, masalah kemanusiaan ini berkelindan dengan masalah politik dan keamanan. Evakuasi jangan sampai menjadi jalan bagi perluasan pendudukan Israel yang kontra-produktif dengan nilai hukum dan norma internasional serta spirit menciptakan solusi dua negara (Kompas.com, 09/04/2025).

Agung bersikap bahwa ide relokasi ataupun evakuasi jangan jadi satu-satunya solusi. Proposal Rekonstruksi Gaza yang didorong Liga Arab sebenarnya mendorong beberapa poin penting: rekonstruksi secara terstruktur, evakuasi secara terbatas khususnya bagi korban luka, dan usaha kolektif menciptakan keamanan bersama melalui adanya pasukan penjaga perdamaian.

Proposal Liga Arab, dalam konteks penolakan terhadap relokasi, mencakup tujuh area yang direncanakan sebagai tempat penampungan sementara di dalam Gaza selama rekonstruksi dilakukan.

Agung menyebut nuansa kemanusiaan untuk mengevakuasi pengungsi ini harus berkelindan dengan solusi-solusi politik dan keamanan. Memastikan bahwa kekerasan harus selesai dan adanya mekanisme yang membuat kedua belah pihak bisa menahan diri menjadi sangat penting.

Pendapat menarik disampaikan TB Hasanuddin, anggota DPR RI dari Fraksi PDIP. Ia berpendapat bahwa sesuai amanah UUD 1945, Indonesia harus ikut membantu memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Karena itu, Pemerintah Indonesia lebih baik fokus memberikan bantuan di Palestina.

TB Hasanuddin mengkhawatirkan upaya Pemerintah Indonesia membawa pengungsi Palestina ke Indonesia malah melapangkan jalan bagi Israel dan Amerika Serikat untuk menduduki wilayah Gaza.

Selain itu, tambahnya, tak ada jaminan warga Palestina akan bahagia di Indonesia. Sebab, lapangan kerja mungkin susah, sedangkan penampungan juga belum tahu lokasinya. (Kompas.com, 09/04/2025).

Penulis setali tiga uang dengan pendapat dari Agung Nurwijoyo dan TB Hasanuddin. Niatan baik presiden dan pemerintah Indonesia amat patut diapresiasi. Namun, perlu memperhatikan konteks konflik dan peperangan yang sedang terjadi.

Evakuasi, apalagi relokasi, akhirnya menjadi solusi yang kurang menarik. Paling tidak ada beberapa alasan mengapa pengungsi dari Gaza sebaiknya tidak direlokasi atau dievakuasi secara permanen ke Indonesia.

Pertama, banyak cara memberikan bantuan kemanusiaan langsung di negeri mereka sendiri.

Memberikan bantuan kemanusiaan dan kesehatan langsung di Gaza akan lebih baik dan tepat sasaran. Opsi itu memang tidak mudah karena infrastruktur banyak yang hancur, termasuk fasilitas kesehatan dan terbunuhnya para tenaga medis.

Namun, tetap lebih baik pemerintah Indonesia mendukung tekanan dan advokasi internasional kepada Israel dan Mesir untuk membuka akses bantuan kemanusiaan dan kesehatan.

Lalu setelah akses terbuka, pemerintah bersama warga Indonesia dapat secara kontinyu mengirimkan tenaga medis serta membangun kembali fasilitas kesehatan di Gaza. Seperti yang pernah dilakukan pada masa lalu, dengan membangun Rumah Sakit Indonesia di Bait Lahia Gaza yang berdiri sejak 2016.

Kedua, jarak dan kompleksitas logistik.

Jarak geografis antara Gaza dan Indonesia sangat jauh, bahkan menyeberang samudera luas. Sehingga memindahkan komunitas besar seperti ini menjadi sangat sulit secara logistik.

Selain itu, evakuasi, apalagi relokasi bukan hanya memindahkan individu, tetapi juga komunitas dengan akar budaya, sejarah, dan kuatnya identitas, yang sulit untuk dilestarikan di negara baru.

Kalaupun harus dievakuasi ke negara lain karena pertimbangan infrastruktur yang hancur dan sarana pendukung rusak, akan lebih baik bila dievakuasi ke negara-negara Arab terdekat.

Walau ini juga tidak mudah, karena negara-negara Arab belum tentu mau menerima mereka. Paling tidak, evakuasi ke negara-negara Arab sekitar seperti Mesir, Saudi Arabia, Qatar, UAE, Kuwait atau Bahrain lebih mudah secara jarak dan logistik. Apalagi kultur dan bahasa mereka relatif sama dengan warga Gaza.

Ketiga, kekhawatiran warga Gaza sulit pulang.

Kembali ke Gaza sama sulitnya dengan meninggalkan Gaza. Apalagi jalur Gaza saat ini dalam posisi diblokade Israel di darat, laut, maupun udara.

Pintu Selatan melalui Rafah yang berbatasan dengan Mesir tidak mudah ditembus. Mesir cukup ketat menutup pintu Rafah. Warga Gaza lama terpenjara di penjara terbuka terbesar di dunia ini.

Walaupun ada prinsip ‘right to return’ alias hak untuk kembali dalam hukum pengungsi internasional, tapi pelaksanaannya tidak mudah.

Jangankan korban perang 2023 – 2025, warga Palestina korban pengusiran Israel sejak tahun 1948 (peristiwa Nakba) saja sampai kini sulit kembali ke Palestina. Mereka sebagian besar sudah wafat. Kalaupun masih hidup, mereka hidup secara terlunta-lunta sebagai pengungsi tanpa kewarganegaraan (stateless) di negara-negara tetangga.

Keempat, dampak sosial dan ekonomi bagi Indonesia.

Indonesia menghadapi tantangan domestik yang cukup besar, termasuk kemiskinan dan keterbatasan sumber daya untuk mendukung pengungsi dalam jumlah besar.

Kondisi ekonomi dan anggaran negara pun sedang tidak baik-baik saja. Maka, evakuasi, apalagi relokasi warga Gaza dapat menambah beban ekonomi negara dan menciptakan potensi konflik sosial dengan warga lokal, seperti yang terlihat dari pengalaman dengan pengungsi Rohingya di Aceh.

Walaupun disebutkan awalnya hanya 1.000 orang, inipun bukan angka kecil. Apabila terus bertambah, maka potensi anggaran yang dikeluarkan akan semakin besar, belum lagi potensi gesekan sosial dan budaya dengan warga lokal di Indonesia.

Terlalu banyak warga Gaza yang terluka dan menderita. Kapasitas Indonesia masih terbatas untuk dapat mendukung mereka semua di dalam negeri Indonesia.

Kelima, risiko kehilangan identitas dan sejarah Palestina.

Yusli Effendi menyebutkan bahwa relokasi besar-besaran warga Gaza ke luar negeri, termasuk Indonesia, dapat menghapus jejak sejarah dan identitas Palestina.

Jika penduduk Gaza meninggalkan wilayah mereka, Israel dapat memanfaatkan situasi untuk merekonstruksi wilayah tersebut sesuai kepentingannya, sehingga artefak sejarah dan memori kolektif perjuangan Palestina bisa hilang. Hal ini berisiko melemahkan klaim Palestina atas tanah mereka di masa depan (prasetya.ub.ac.id).

Keenam, status hukum pengungsi di Indonesia.

Indonesia bukanlah penandatangan Konvensi Status Pengungsi tahun 1951, sehingga pengungsi hanya bisa diakui sebagai pencari suaka (asylum seeker).

Regulasi yang ada paling tinggi hanyalah Perpres No. 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri, yang menawarkan mekanisme terbatas dalam penanganan pengungsi.

Sifatnya hanya penanganan sementara dan bukannya suatu solusi yang komprehensif dan jangka panjang (durable solution).

Saat ini saja, dari sekitar 13.000 pengungsi yang tercatat di Indonesia, kebutuhan dasar mereka bergantung pada lembaga internasional seperti UNHCR dan IOM, yang dapat menjadi tantangan tambahan dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Ketujuh, mempertahankan hak atas tanah Palestina.

Memindahkan penduduk Gaza ke negara lain dapat dianggap sebagai upaya untuk mengurangi populasi Palestina di wilayah tersebut, yang justru malah memperkuat pendudukan ilegal Israel.

Padahal Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri menolak relokasi semacam ini karena dianggap bertentangan dengan prinsip mempertahankan hak-hak rakyat Palestina atas tanah mereka (Dw.com, 21/1/ 2025).

Maka, dengan segala hormat, Pak Presiden, dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, solusi terbaik yang kami tawarkan adalah:

  1. Mendukung rakyat Palestina tetap berada di tanah mereka melalui bantuan kemanusiaan internasional termasuk bantuan dari pemerintah dan rakyat Indonesia.
  2. Mendukung advokasi dan tekanan internasional untuk membuka akses bantuan kemanusiaan ke Gaza, utamanya kepada Israel dan Mesir
  3. Mendesak penghentian kekerasan, kejahatan kepada kemanusiaan, dan genosida di Gaza dengan menghormati gencatan senjata oleh kedua pihak yang bermusuhan.
  4. Mendorong Pengadilan Pidana Internasional (ICC) di Den Haag dan semua mekanisme pengadilan yang mungkin di level nasional, regional dan internasional untuk mengadili para penjahat kemanusiaan dalam konflik tersebut.
  5. Mendukung proses rekonstruksi Gaza dan program-program rehabilitasi dengan memperhatikan kepentingan dan suara rakyat Gaza.

Indonesia harus lebih gencar melakukan diplomasi dan advokasi politik untuk menyelesaikan konflik secara adil dan humanis. Semata-mata demi dan untuk rakyat Gaza dan Palestina. Tidak untuk kepentingan faksi-faksi yang bertikai.

Sumber: KOMPAS 

Editor : Sandro Gatra

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

“Misi Indonesia untuk Perdamaian Dunia – MINDA” adalah sebuah organisasi yang didedikasikan untuk mempromosikan perdamaian di seluruh dunia.

Menu Cepat

Home

Artikel

Berita

Support

Hubungi Kami

Info Seminar

Komunitas

Alamat

Gedung Innovation Center, Jl. Raya Cilandak KKO No.14, RT.14/RW.8, Ragunan, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12560

 

© 2024 Minda Organization developed by orbitcreation.com

×

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

×